Adellweise

Aku Menulis Maka Aku Ada

Rambu Solo’, Kekayaan Budaya yang “Mengerikan” 26 September 2012

Filed under: Tugas Kuliah — Kurnia Indasah @ 09:06
Tags: , , , , ,

Kekayaan Negara kita Indonesia akan kebudayaan, membuat kita perlu untuk menggali, mengetahui, dan memahaminya. Salah satunya, budaya yang berasal dari Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Tana Toraja, yang bisa dikatakan sangat terkenal di oleh wisatawan manca Negara, tapi sangat sedikit diketahui oleh wisatawan dalam negeri sendiri. Daerah ini juga sangat terkenal dengan pemandangan alam yang begitu indah.
Budaya Tana Toraja yang terkenal sangat unik, yang membuat menarik para wisatawan untuk berkunjung ke salah satu daerah yang sangat terpencil ini. Seperti misalnya budaya Rambu Solo’ yang akan kami bahas dalam penjelasan berikut ini. Budaya warisan leluhur yang mensyaratkan penyembelihan kerbau dengan cara yang unik untuk menghormati arwah orang yang sudah meninggal.
Upacara Rambu Solo’ adalah salah satu fenomena budaya yang mencerminkan semangat kebersamaan dan gotong royong orang Toraja yang terkenal dengan semboyan “misa’ kada di potuo pantan kada di po mate” (artinya kurang lebih sama dengan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh). Meskipun terlihat sebagai pemborosan karena mencari harta untuk dihabiskan dalam upacara kematian, unsur gotong royong dan tolong-menolong yang terlihatmasih sangatlah jelas, contohnya dalam menyediakan hewan kurban, menyumbang modal, dan juga membantu berjalannya prosesi upacara seperti mendirikan lantang bersama-sama, menyiapkan jamuan bagi para tamu, mempersiapkan keperluan upacara mengarak jenazah, dll.

Mengenal Rambu Solo’
Rambu Solo’ adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka, di sebuah tempat peristirahatan yang disebut dengan puya. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurna kematian. Dikatakan demikian karena, orang yang meninggal dikatakan benar-benar meninggal setelah prosesi upacara ini digenapi atau dilaksanakan dengan sempurna. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut dikatakan hanya orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan ditempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara. Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap acara ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (Bombo), arwah yang mencapai yingkat dewa (To membali Puang), atau menjadi dewa pelindung (Deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo’ menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan mengadakannya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal dunia.
Kemeriahan upacara Rambu Solo’ ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak hewan disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor.
Dulu upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan atau kemampuan ekonomi. Saat ini sudah banyak masyarakat Toraja dari strata sosial masyarakat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar acara ini.
Puncak dari upacara Rambu Solo’ disebut dengan upacara Rante yang dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”. Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian ritual yang selalu menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan jenazah (ma’tudan mebalun), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (ma’popengkalao alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terkhir (ma’palao). Selain itu, juga terdapat berbagai atraksi budaya yang dipertontonkan, seperti misalnya adu kerbau (mappasilaga tedong). Kerbau-kerbau yang akan dikorbankan, diadu terlebih dahulu sebelum disembelih. Dalam upacara tersebut juga dipentaskan beberapa musik daerah, seperti pa’pompan, pa’ dali-dali, pa’badong dll.
Menariknya lagi, kerbau disembelih dengan cara yang sangat unik, dan merupakan ciri khas masyarakat Tana Toraja yaitu menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (Tedong Bonga), yang harganya berkisar antara 10-50 juta per ekor.

Nilai-nilai yang Terkandung
Nilai Moral
Upacara Rambu Solo’ adalah salah satu fenomena budaya yang mencerminkansemangat kebersamaan dan gotong royong orang Toraja yang terkenal dengan semboyan “misa’ kada di potuo pantan kada di po mate” (artinya kurang lebih sama dengan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh). Meskipun terlihat sebagai pemborosan karena mencari harta untuk dihabiskan dalam upacara kematian, unsur gotong royong dan tolong-menolong yang terlihatmasih sangatlah jelas, contohnya dalam menyediakan dan menyumbang modal dan hewankurban dan juga dalam membantu berjalannya prosesi upacara seperti mendirikan lantang bersama-sama, menyiapkan jamuan bagi para tamu, mempersiapkan keperluan upacara mengarak jenazah, dll. Ada juga pembagian daging kerbau dan babi kepada orang-orang yang tidak mampu sehingga upacara ini dapat dianggap sebagai perekat hubungan kekeluargaan tidak hanya antar sesama keluarga sendiri atau sesama kelas sosial tetapi juga antar kelas-kelas sosial lainnya.
Nilai Religius
Suku Toraja dikenal sebagai suku yang religius dan memiliki integritas yang tinggi dalam menjunjung dan melestarikan budayanya. Setiap kegiatan dan pekerjaan mereka memiliki nilai sakral dan dilaksanakan menurut adat yang berlaku karena mereka percaya bahwa melanggar adat adalah suatu pantangan.
Demikian halnya keberadaan manusia dari lahir sampai mati, aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-simbol yang berhubungan dengan kesakralan itu selalumengiringi keberadaan masyarakat Toraja. Hal inilah yang membentuk way of thinking dan way of living Toraja dan menjadi budaya yang melekat dengan begitu kuatnya. Begitu juga yangterlihat dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’ yang kental dengan nilai religinya. Masyarakat Toraja memaknai kematian sebagai suatu hal yang tidak untuk ditakuti karena mereka percaya bahwa ada kehidupan yang kekal setelah kematian. Bagi mereka, kematian adalah bagian dariritme kehidupan yang wajib dijalani. Walau boleh ditangisi, kematian juga menjadi kegembiraanyang membawa manusia kembali menuju kehidupan kekal, tempat leluhur berasal.
Nilai Sosial
Saat ini, upacara Rambu Solo’ merupakan peristiwa sosial yang dijadikan sebagai ajang pembuktian status sosial bagi masyarakat Toraja. Melalui upacara ini, telah terjadi pergeseran standard dalam menentukan status sosial masyarakat Toraja. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan, namun seiring dengan perkembangan ekonomi dan jaman, status sosial tidak lagi berdasarkan pada darah, keturunan atau kedudukan (bangsawan atau tidak) melainkan berdasarkan tingkat kemapanan ekonomi bahkan pendidikan. MasyarakatToraja beranggapan bahwa semakin meriah upacara tersebut dan semakin banyak harta yang dikeluarkan, maka semakin baik pula nilai upacara tersebut dan semakin tinggi pula status sosial yang dimiliki (terlepas dari status berdasarkan darah kebangsawanannya).
Nilai Ekonomi
Saat ini, upacara Rambu Solo’ tidak hanya dipandang semata-mata sebagai ritual suci melainkan juga sebagai salah satu objek wisata budaya dan aset ekonomi penting bagi masyarakat Toraja dan Indonesia pada umumnya. Selain makna religius yang dikandung, sebagai salah satu budaya Toraja, upacara ini juga telah membuka lapangan pekerjaan dan jalan perekonomian yang baik bagi masyarakat Toraja. Toraja beserta aset budayanya telah menjadi objek wisata terlaris kedua setelah Bali dimana pendapatan utama daerahnya berasal dari bidang pariwisata. Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis yang memiliki kekayaan budaya. Dengan adanya makam-makam Tana Toraja beserta upacara-upacara adat dan budaya-budayanya yang unik sebagai sumber wisata baik dalam maupun luar negeri, perekonomian yang dimiliki Tana Toraja jelas terangkat. Sebagian besar dari masyarakat Toraja bekerja di bidang pariwisata, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata, dll.

Agama dan Budaya Rambu Solo’
Saat ini, sebagian besar masyarakat Toraja beragama Kristen, disusul oleh Islam di urutan kedua. Meskipun masyarakat Toraja telah memeluk agama dan meninggalkan bentuk-bentuk animisme dan dinamisme, namun dalam prakteknya, bagi sebagian masyarakat, agama tetap berada di anak tangga kedua di bawah adat istiadat.
Dalam budaya nenek moyang orang Toraja, ada stratifikasi sosial yang cukup menonjol. Ketika perbudakan masih berlaku di Toraja, dikenal golong puang (penguasa, tuan) dan kaunan (budak). Namun pada zaman kolonial Belanda hal itu dilarang. Tetapi dalam prakteknya, masyarakat adat Toraja tetap membedakan empat kasta dalam masyarakat yang diurut dari yang tertinggi yaitu Tana’ Bulaan (keturunan Raja), Tana’ Bassi (keturunan bangsawan), Tana’ Karurung (bukan bangsawan, tetapi bukan juga orang kebanyakan, tokoh masyarakat) dan yang terendah adalah Tana’ Kua-Kua (rakyat jelata). Dalam hubungan dengan upacara-upacara adat, dikenal pula golongan imam (to minaa atau to parenge’) dan orang awam (to buda).
Dengan masuknya agama Islam, masyarakat diajarkan untuk tidak lagi menggunakan kasta-kasta dalam hubungan sosial. Masyarakat Toraja mulai bisa menerima pengaruh pemuka agama melebihi dominasi keturunan raja dan bangsawan. Namun, di sinilah terjadi dualisme dalam masyarakat Toraja. Mereka tetap menghormati pemuka agama sebagai bentuk penerimaan mereka terhadap agama baru, namun tetap pula menjunjung tinggi prinsip Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi, juga adat Rambu Solo’. Dengan kata lain, bagi sebagian masyarakat Toraja, tidak ada istilah “konversi” agama dari animisme dinamisme ke Islam dan Kristen, yang ada adalah “akulturasi” agama antara animisme dinamisme dengan Islam dan Kristen. Meskipun, pada sebagian masyarakat yang lain hal ini tidak berlaku. Sebagian masyarakat yang lain tersebut pada umumnya sudah menjadi muslim dan pengikut Kristus yang baik.

 

Tinggalkan komentar